Namanya Marsiyem.Usianya kini sudah 95-an tahun. Tidak ingat benar, tahun berapa dia dilahirkan, namun yang jelas Marsiyem sudah pernah mengalami betapa susahnya hidup di jaman Belanda dan Jepang. Masih kokoh , seperti terlihat baru berusia 75-an tahun.
Bicaranya lantang. dan masih mampu mengingat dengan baik masa lalu panjang yang latah dilatuinya. Mengingat pula awal mula brem, penanda penting bagi Desa Kaliabu, kalau bagi Caruban yang kini menjadikannya sebagai ibu kota kabupaten. Marsiyem kecil sudah akrab dengan panganan yang dinamai brem tersebut. Panganan ndeso namun termasuk wah di masa itu. Hanya sedikit orang yang jajan dengan membeli bremo pasalnya bagi wong ndeso bertemu nasi saja tidak menentu apalagi harus membeli jajanan yang tidak bias bikin perut kenyang. Kendati begitu. di usianya yang masih belasan tahun, dia malah sudah mampu membuat brem. Gurunya walau tidak secara langsung adalah Mbah Lurah Dusun Bodang. Sementara Marsiyem sendiri tidak pernah tahu dari mana Mbah Lurah mendapatkan ilmu membuat brem tersebut dan mengapa pula dinamai brem
Dalam bahasa Jawa yang semanak, Marsiyem mengatakan, mungkin karena membuat panganan yang bahan utamanya adalah sari tape ketan ini harus diperam dulu selama tujuh hari tujuh malam sebelum diproduksi, maka nama brem lantas muncul begitu saja.
Peram yang dilafal perem dalam bahasa Jawa secara fonetik tak jauh dari kata bremo
Marsiyem hanya mengingat, Mbah Lurah Dusun Bodang juga menyebut nya seperti itu. Marsiyem juga ingat, untuk kulakan bahan baku dan peralatan membuat brem, harus menempuh pejalanan cukupj jauh yaitu menuju ke Madiun. tumpangannya adalah sepur kluthuk (kereta jaman Belanda berbahan bakar kayu, red) yang menyemburkan asap hitam pekat saat melaju, dan jika sudah turun dari sepur di hidung masing-masing penumpangnya akan menyumpal/anges ( jelaga) hitam.
Dari Dusun Bodang, brem kemudian menyebar ke dusun-dusun lain di sekitarnya di wilayah Desa Kaliabu. Masing-masing adalah Dusun Sumberjo, Lemah Ireng, Tempuran dan Kaliabu. Di lima dusun di Desa Kaliabu tersebut, hanya Dusun Tempuran yang hingga kini masih memiliki perajin brem paling banyak. Dusun-dusun lainnya sudah lama beralih profesi karena gerusan jaman. Mereka memilih bercocok tanam, atau bermigrasi ke kota Madiun dan kota besar Jawa Timur lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sedang Marsiyem, adalah segelintir generasi pertama yang masih setia mendampingi produksi panganan yang bercitarasa semriwing nan manis ini.
Bentuk pertama yang lebih dulu dikenal adalah makanan tradisional khas yang berasal dari Kecamatan Caruban Kabupaten Madiun, dan berasal dari dua desa penghasil : Bancong dan Kaliabu.
Kandungan brem terbanyak adalah gula, pati terlarut dan asam laktat dari hasil fermentasi tadi. Brem yang ada di pasaran adalah suatu produk pangan yang berwarna putih sampai kecoklatan dan mempunyai rasa manis keasaman yang dibuat dari pemasakan cairan tape ketan putih.
Brem telah menjadi salah satu ikon Madiun di bidang kuliner dan telah berkembang pula menjadi sebuah industri yang cukup berkembang. Dan seperti jenis makanan khas lainnya, konsumen lebih suka membeli langsung di daerah asalnya daripada membeli di kotanya. Oleh sebab itu jarang ditemui Brem di daerah lain, kalaupun ada mungkin tidak memberikan greget yang sama dibandingkan membeli langsung di daerah asalnya. Oleh sebab itu produk ini nampaknya akan lebih sering "terekspor" ke daerah lain dalam bentuk oleh-oleh daripada menjadi produk dagangan di daerah lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar